Selasa, 24 Februari 2009

Di Tangan Sapardi, Bahasa Indonesia Mencapai Puncaknya

Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


YOGYAYAKARTA-LENSA, Bait puisi di atas mungkin tidak asing lagi bagi sebagian diantara kita. Mungkin kita pernah mendengarnya dalam kemasan puisi cinta atau sebagai sebuah lagu. Puisi ini adalah karya sastrawan terbesar Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Pertama kali melihatnya, kesan sederhanalah yang melekat di hati saya. Cara berpakaiannya, cara bertuturnya, dan karya-karyanya. Semuanya nyata sederhana. Meski terdaulat sebagi guru besar Sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Sapardi tetaplah sederhana. Ketika ditanya perihal puisinya yang sangat mendunia, ia hanya mengatakan “Puisi saya itu terkenal karena dilagukan. Kalau tidak dilagukan, mungkin tak banyak orang mengenalnya.”

Bertempat di Momento CafĂ©, Yogyakarta (21/2), sosok rendah hati ini menceritakan jika ia telah mencintai puisi sejak duduk di bangku SMU. Tidak tanggung-tanggung, puisi pertamanya dimuat oleh H.B Jassin, seorang kritikus satra terbesar kala itu. Dengan kata lain, puisi yang ditulis kala belia itu tak diragukan kualitasnya. Sapardi tak pernah menganngap dirinya sebagi penulis remaja. Karena itulah, ia tidak pernah mengirimkan karyanya ke majalah-majalah remaja. “Jika kita mengategorikan diri kita sebagai penulis remaja, maka selamanya kita akan tetap menulis dengan gaya remaja”

Tak jarang ia meniru gaya menulis dan bertutur dari penulis lain, salah satunya ialah gaya T.S. Elliot. Menurutnya, seniman haruslah bereksperimen. “Siapapun penulis yang mengikuti dirinya sendiri, maka ia akan mati”. Dengan gaya bercanda yang sederhana, beliau menuturkan bahwa kita harus menjadi pencuri juka ingin berkarya, asalkan pencuri yang baik. Mencuri tidak selalu identik dengan hal yang negatif. Orang Jawa juga pernah mencuri karya seni India, yakni seni perwayangan, seperti cerita Rama dan Sinta. Tentunya, proses mencuri ini diubah sedemikian rupa sesuai dengan ciri khas Jawa. Jepang dan Korea yang terkenal dengan teknologi mutakhirnya pun tak jarang mencuri ide teknologi dari negara lain, lalu ia kembangkan dengan caranya sendiri.

Indonesia pun mengakui kebesaran karyanya. Pada tahun 2003, lifetime achievement dari Ahmad Bakrie Award menjadi miliknya. Penghargaan ini mengatakan bahwa “di tangan Sapardi, Bahasa Indonesia mencapai puncaknya”. Tidak berlebihan, karyanya nan sederhana namun powerful , kederhanannya dalam bertutur, dan andilnya dalam menjaga bahasa Indonesia di setiap karyanya, menjadikan Sapardi pantas untuk mendapatkan penghargaan tersebut. Ketika ditanya perihal sajaknya yang paling baik ia menjawab “Sajak terbaik saya adalah sajak yang akan saya tulis”. Artinya, di usinya yang hampir menginjak 70 tahun, dia tidak pernah puas dengan hasil karyanya dan selalu ingin menulis. (IK)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar