Selasa, 17 Februari 2009

Beringin Alun-Alun Yogyakarta Tak Ada Duanya

YOGYAKARTA, LENSA- Beringin merupakan lam­bang Keraton Yogya­kar­ta, yang bermakna pengayom dan penyejuk bagi yang berlindung di bawahnya. Konon, masya­ra­kat di Yogyakarta tidak berani menanam dengan sengaja pohon beringin di halaman maupun di seki­tar rumahnya. Hanya masya­rakat yang tinggal di lingkung­an Keraton saja yang berani menanamnya karena beringin dianggap suatu tanaman yang mis­tis. Mereka percaya jika setiap pohon beringin pas­ti ada penunggunya (makh­luk halus). Tak heran apabila beringin pa­da masa lalu selalu dida­tangi orang untuk “minta petunjuk”.
Saat ini beringin masih berdiri kokoh di kedua alun-alun keraton (utara dan selat­an). Jika an­da berkunjung ke Yog­ya­karta, anda harus me­ngunjungi objek wisata yang satu ini, yang berada di depan Sasana Hinggil Dwi Abad atau yang biasa disebut Alun-alun Kidul (Selatan). Pohon beringin yang ada di depan alun-alun tersebut men­jadi tem­pat wisata ma­lam yang menarik. Konon apabila kita dapat melewati dua beringin itu dengan mata tertutup, maka permin­taan dan cita-cita kita akan terkabul.
Orang-orang di sekitar menyebutnya Mas Angin (masuk antara dua arah mata angin). Mas Angin dilakukan dengan menu­tup mata meng­gunakan sa­pu tangan kemudian ber­­jalan lurus an­ta­ra be­ringin timur dan barat. Meskipun terlihat mudah, banyak pengunjung yang ber­belok arah begitu men­dekati pohon beringin itu.
Hampir setiap malam, banyak pengunjung yang mencoba membuktikan ce­rita tersebut. “Kalau se­karang, beringin itu hanya sebagai tempat wisata se­ma­ta. Setiap malam dipe­nuhi orang, apalagi jika malam Minggu”, ujar Ngadiyo, penjual we­dang ronde yang selalu mene­ma­ni pengunjung de­ngan rondenya yang hangat.
Dahulu, beringin digu­na­kan sebagai tempat tira­kat (berdoa dan mencoba nasib) bagi para pencari ilmu, kata Ngadiyo menje­laskan. Mas Angin atau ma­suk di antara dua po­hon beringin merupa­kan sesuatu yang isti­me­wa dan klasik di Yogya­karta. Ti­dak bisa dipungkiri, kesan klasik dan mistis itu menjadi lebih bermakna dan berharga bahkan tidak ada duanya. Gemerlap dunia kota di Jalan Solo dan di Jalan Ma­ge­lang yang saat ini menjadi tujuan penghilang keje­nuh­an maha­sis­wa ternyata masih belum bisa menga­lah­kan pesona mistis beri­ngin tua.
Menurut Ngadiyo, se­be­­tul­­nya ada tempat yang jauh lebih klasik dan lebih kental mistiknya diban­ding­­kan dengan beringin Mas Angin, yaitu Sumur Gemu­ling yang berada di Taman Sari. Konon, su­mur tersebut merupa­kan tempat pertemuan penting antara Sri Sultan dengan Nyi Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Hal itu tampak dari tiap inci bangunan klasik tersebut. ”Meskipun rusak, sumur ini tidak boleh dibangun yang baru karena akan menghi­lang­kan unsur-unsur mistis­nya, kata penjual ronde itu. (AD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar